12/10/10

Titik (tidak bisa) Balik

Sudah lama saya melakukan layout buku ini, Titik (tidak bisa) Balik, ditulis oleh seorang entrepreneur Basri Adhi. Banyak sekali cerita-cerita yang meyakinkan saya; untuk terus berusaha, tuhan yang menentukan.


Basri Adhi adalah pemilik waralaba Misterblek, yang disebut-sebut sakit jiwa oleh teman-temannya.
“Mengapa memilih membuka usaha sendiri yang tidak pasti masa depan­nya, daripada bertahan sebagai general manager de­ngan gaji dan fasilitas menawan.”
Dari seorang pekerja kantoran nekat memutar haluan menjadi seorang wirausahawan. Alasannya sederhana,termotivasi oleh seorang penjual burger kelas pinggiran jalan.

Berikut penjelasan sang istri, Driffaroza Parmy, di akhir buku ini.
Saya mengenalnya ketika kami sama-sama berkuliah di IPB, kelak karena merasa banyak kecocokan, kami memutuskan menikah pada April 1998. Basri Adhi, lahir tepat di akhir bulan Juni 1971 dari pasangan yang bersahaja: Bapak Suwito (almarhum) dan Ibu Sri Hartuti, di sebuah sudut teduh di Kota Semarang yang terkenal panas. Anak pertama dari empat bersaudara ini melalui masa kecilnya dengan biasa saja. Tidak ada prestasi yang menonjol, kecuali bahwa nilai akademisnya tidak terlalu ketinggalan dibandingkan teman-teman sekelasnya.
Dari orang tua yang “hanya pegawai negeri biasa”, masa kecil Basri -begitu dia biasa disapa- melalui masa SD hingga SMA-nya dalam kalangan yang juga “tidak luar biasa”. Berangkat pulang sekolah berjalan kaki, dan naik bus kota ketika SMA. Tidak ada yang istimewa.
Tahun 1989, Basri dinyatakan diterima di IPB, dan inilah titik balik kehidupannya. Berpisah dari orang tua untuk memperjuangkan cita-citanya. Aktivi­tas­nya di IPB –sepanjang yang saya tahu- cukup me­nonjol, dari kegiatan Himpunan Mahasiswa dan Senat diikutinya, dengan minat terbesar di bidang jurnalisme mahasiswa. Minat inilah yang membawa kariernya terseret arus yang jauh dari dunia pertanian: sebagai Ahli Pemasaran Media Cetak.
Kariernya dimulai tahun 1994 sebagai Sales Exe­cutive di Harian Republika, dan terus menanjak se­iring banyak perusahaan media cetak terkemuka yang disinggahinya: TEMPO, Grup KOMPAS, dan posisi ter­akhir sebagai General Manager Marketing di Harian Se­putar Indonesia adalah puncak karirnya.
Basri yang saya kenal, tidak mau hanya sekedar berhenti dan menikmati kenikmatan semu, serta berusaha membuat orang lain sukses mengantarkannya bergaul dengan berbagai kalangan. Tidak jarang dalam pertemuannya dengan orang-orang di jalanan tersebut, saking menginspirasinya, ditulisnya hasil pertemuan itu baik dalam bentuk catatan pendek maupun puisi.
Beberapa kali dalam transisi masa kariernya, Basri mulai merasakan kejenuhan. Beberapa bisnis pernah ditekuninya, dari beternak bebek petelor, menjadi agen makanan sari kelapa (nata de coco) hingga kurir distri­busi majalah. Semua berakhir GAGAL TOTAL.
Hingga pada tahun 2006, dengan pergulatan batin yang –saya tahu- berat serta tekad bulat, dimulainya sebuah “titik yang tidak bisa balik” dengan mem-pensiun-kan dirinya dari karir yang sedang berada di puncak, yang berakibat terhentinya gaji besar beserta fasilitas wah-nya, beralih menjadi Tukang Burger yang bercita-cita besar.
Kini –setelah empat tahun – Basri setidaknya telah memberikan inspirasi pada 100-an mitra, yang memiliki 150 gerai dengan total jumlah karyawan mencapai 450 orang: dengan bisnis yang bermodal kecil, tapi be-visi besar. Dengan outlet yang sudah tersebar di 25 kota di Indonesia, Basri terus mengejar mimpi-mimpinya dan tidak berhenti begitu saja.
Bagi Basri, membuat mitra-mitranya sukses adalah mimpi terbesarnya. Menurut keyakinannya (yang selau dibisikkannya pada saat-saat tersulit dalam hidup kami):
seorang yang sukses adalah, orang yang berhasil membuat orang lain sukses.